BENDERRAnews, 29/7/17 (Jakarta): Secara aklamasi, DPR RI telah mengesahkan RUU Pemilu menjadi Undang-Undang Pemilu.
Tapi, para elite segelintir partai agaknya belum ‘legowo’ menerima putusan itu, dengan melakukan beberapa manuver yang bikin gaduh.
Tengok saja Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melalui beberapa politikusnya, terus terus bermanuver. Intinya mereka menolak penerapan ambang batas partai politik (Parpol) mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold (‘Pres-T’).
Malahan, Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto, seperti gaya seorang pengamat, menyebut ‘Pres-T’ sebagai lelucon politik.
Lalu, Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak mau kalah dengan seolah melihat ihwal masalah ‘abuse of power’. Mantan presiden yang gemar pakai bahasa asing ini juga mengungkapkan hal yang disebutnya power must not go unchecked terhahap pemerintahan srkarang.
Lantas, apa tanggaoan Presiden Joko Widodo alias Jokowi?
Dengan gayanya yang khas, sederhana dan lugas, Presiden Jokowi cuma menunjuk fakta serta pengalaman kita berdemokrasi.
Sebab, angka ‘Pres-T’ sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, telah diterapkan sejak pemilihan presiden (Pilpres) 2009, ketika SBY terpilih kembali jadi presiden.
Karenanya, Presiden Jokowi heran dengan Parpol yang menolak Pres-T.
“Kita sudah mengalami dua kali presidential threshold 20 persen, (Pilpres) 2009 dan 2014. Kenapa dulu tidak ramai?,” kata Presiden di Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (28/7/17) kemarin.
Tentang ‘abuse of power’, dengan nada penuh kewibawaan, Presiden Joko Widodo menyebut kekhawatiran Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono terhadap pemerintah terlalu berlebihan.
Presiden Jokowi, menyatakan juga, tak ada pemimpin yang absolut.
“Sangat berlebihan,” tegas Presiden Jokowi di PT Astra Otoparts, kawasan Greenland Industrial Center Deltamas, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (28/7/17) kemarin.
Disebutnya lagi, pemerintah tak pernah membuat kebijakan untuk kepentingan sendiri atau menjadi pemimpin yang absolut.
Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi.
Contohnya, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Perppu tersebut, menurut Presiden, tidak serta merta hanya keputusan pemerintah. Tapi, harus ada persetujuan dari DPR.
“Mengeluarkan Perppu kan juga ada mekanismenya. Setelah presiden mengeluarkan Perppu, kan ada mekanisme lagi di DPR. Di situ ada mekanisme yang demokratis, ada fraksi-fraksi entah setuju atau tidak. Artinya, tidak ada kekuasaan absolut, mutlak, dari mana? Enggak ada,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip ‘Metrotvnews.com’.
Sebagaimana diberitakan berbagai media, SBY dan Prabowo berkomitmen mengawal pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. “Power must not go unchecked. Artinya, kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas, sehingga tidak masuk apa yang disebut abuse of power,” kata SBY saat jumpa pers usai pertemuan dengan Prabowo.
“Banyak pelajaran di negara ini, manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya masuk wilayah abuse of power, maka rakyat menggunakan koreksinya sebagai bentuk koreksi kepada negara,” ujar SBY.
Presiden Jokowi lalu menyatakan, kekuasaan pemimpin di Indonesia tidak bersifat mutlak. “Perlu saya sampaikan bahwa saat ini tidak ada kekuasaan absolut, kekuasaan mutlak,” kata Presiden.
Presiden menyatakan, terdapat insan pers, lembaga swadaya masyarakat, termasuk DPR yang mengawai jalannya pemerintahan. “Pengawasannya kan dari mana-mana. Rakyat juga bisa mengawasi langsung,” tegasnya.
Disebut Presiden, Indonesia telah memilih demokrasi sebagai upaya menyelesaikan perbedaan. “Setiap permasalahan dengan musyawarah dan mufakat,” ujar Presiden Jokowi sebagaimana dilansir ‘Suara Pembaruan’.
Sudah aklamasi
Presiden Jokowi lebih lanjut menilai ‘Pres-T’ bertujuan positif. Pasangan calon terpilih dinilai memerlukan dukungan Parpol yang berada di Parlemen.
“Kalau nol persen (Pres-T dihapus), kemudian partai mencalonkan, kemudian menang. Coba bayangkan nanti di DPR, di Parlemen,” ujar Presiden.
Presiden berharap agar publik memahami dinamika politik mengenai Pres-T, apalagi Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) telah disahkan DPR bersama pemerintah. Para pihak yang tidak menyetujui Pres-T dapat melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sudah diketuk dan aklamasi, betul? Nah itulah yang harus dilihat oleh rakyat. Jadi ya silakan itu dinilai, kalau masih ada yang tidak setuju, kembali lagi bisa ke MK (Mahkamah Konstitusi), inilah negara demokrasi dan negara hukum yang kita miliki,” kata Presiden.
Ada mekanismenya
Seperti sudah diberitakan sebelumnya, Prabowo dan SBY dalam pertemuan mereka, juga menjadikan Pres-T sebagai salah satu topik pembahasan.
Terhadap ini, Mendagri Tjahji Kumolo mengingatkan para pihak yang tak setuju, agar paham aturan.
“Saya kira kalau tidak sepakat ada proses dan mekanismenya. Jangan diartikan kalau ada fraksi atau partai yang WO (meninggalkan ruang sidang paripurna) terus menolak dan tidak mengakui (pengesahan RUU Pemilu), tidak begitu,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Hal itu disampaikan Tjahjo usai menghadiri Rapat Koordinasi Penanganan Isu-Isu Politik Nasional dan Kesiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 yang digelar Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (28/7/17).
Dia menegaskan, RUU Pemilu kini telah sah sebagai payung hukum pelaksanaan Pemilu 2019. Seluruh parpol wajib mengikuti aturan main sesuai regulasi tersebut. Disebutnya lagi, Parpol di DPR tidak dapat mengajukan uji materi Pres-T ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Ada elemen masyarakat lain yang bisa menggugat secara hukum ke MK,” tegasnya.
Uji materi juga diyakini Tjahjo tidak akan menggangu tahapan Pemilu 2019. “Oh enggak (ganggu). RUU Pemilu sudah sah jadi undang-undang yang menjadi acuan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu),” demikian Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan lagi. (B-SP/MT/jr)