BENDERRAnews, 26/7/17 (Jakarta) – Rencana pihak Polda Metro Jaya merekrut “Pak Ogah” atau warga yang kerap membantu mengatur lalu lintas dengan meminta bayaran seikhlasnya dari pengendara, untuk bantu mengurai kemacetan Jakarta, mendapat tanggapan serius pihak Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Sebagaimana dikemukakan Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko, pihaknya mendukung jika hal tersebut dalam rangka memberdayakan masyarakat.
Namun, ia menyarankan agar evaluasi secara keseluruhan bisa dilakukan agar keberadaan mereka tidak menimbulkan masalah baru.
“Jangan sampai nanti kehadiran mereka jadi tantangan baru untuk problem lalu lintas. Artinya, petugas yang melakukan pelayanan tersebut harus punya kemampuan teknis,” ujar Sigit di Balai Kota, Rabu (26/7/17).
Ia juga mempertanyakan, apakah nantinya dengan adanya “Pak Ogah” resmi itu akan menjadi bisnis baru bagi warga. Dengan demikian, rencana tersebut, katanya, harus dikaji secara cermat agar kebijakan yang diambil ada manfaat dan menyentuh esensi permasalahan.
“Komunikasi ya sudah. Ini kan sebenarnya lebih ke wacana, purnawirawan polisi lalu lintas yang masih gagah banyak. Mengapa tidak itu saja yang direkrut? sehingga tidak perlu pelatihan dan pembinaan lagi,” katanya.
Termasuk juga ia mempertanyakan, apakah mereka akan bekerja sepanjang waktu selama 24 jam? Sebab, mau tidak mau mereka harus mau bekerja 24 jam. Dengan demikian bagaimana prosedur pengawasan dan hal-hal lainnya harus matang dulu.
“Ini yang harus dipikirkan secara komprehensif. Artinya, memberdayakan masyarakat boleh, tapi harus bicara banyak faktor,” katanya seperti diberitakan ‘Suara Pembaruan’.
Keberadaan “Pak Ogah” juga dinilainya merupakan pelanggaran dari Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Satpol PP, katanya, kerap menertibkan dan mengirimkannya ke panti untuk mendapat pembinaan.
“Makanya, itu ada hal yang bertentangan sehingga kita harus sama-sama mengkaji dari segi manfaatnya, terus bisa tidak menyentuh akar masalahnya? Kalau sekarang kan boleh dibilang jalan protokol sudah tidak ada ‘Pak Ogah’, mereka muncul ini kan karena macet, misalnya ada pembangunan infrastruktur sehingga warga setempat jadi pengatur lalu lintas karena lebih kenal situasi lingkungannya,” demikian Sigit Wijatmoko. (B-SP/BS/jr)