BENDERRAnews, 17/7/17 (Jakarta): Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU 17/2013 tentang Ormas tidak melanggar konstitusi, juga merupakan bagian dari performa Negara untuk melindungi warganya, sehingga jauh dari urusan pelanggaran hak-hak azasi manusia.
Demikian pernyataan DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (DPP GPPMP), juga Setara Institut yang dikeluarkan secara terpisah di Jakarta, hari Senin (17/7/17) ini.
Ketua Umum DPP GPPMP, Jeffrey Rawis menilai, hadirnya oranisasi-organisasi yang dengan nyata-nyata anti Pancasila, tidak bisa dibiarkan.
“Kita sudah sepakat, ini Negara Pancasila. Masakan ideologi kita dianggap najis. Saya setuju dengan pendapat Ketua Umum PB NU, Bapak KH Said Agil Siradj, bahwa Ormas yang anti Pancasila silahkan hidup di luar Indonesia,” demikian Jeffrey Rawis.
Karenanya, menurutnya, DPP GPPMP tanpa ‘reserve’ mendukung penuh keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU 17/2013 tentang Ormas.
“Sekalig lagi, kami menilai Perppu ini tidak melanggar konstitusi, juga merupakan bagian dari performa Negara untuk melindungi warganya, sehingga jauh dari urusan pelanggaran hak-hak azasi manusia,” tandasnya didampingi Sekjen, Teddy Matheos dan Wakil Sekjen Bidang Hukum, HAM dan Advokasi DPP GPPMP, Widi Syailendra.
Kewenangan pemerintah
Sementara itu, pihak Setara Institut berharap Perppu harus dibaca sebagai kewenangan pemerintah atau negara dalam merespon suatu keadaan yang tidak normal dan mendesak.
“Makanya, putusan yang diambil adalah dengan kesegeraan agar situasi itu bisa normal kembali. Perppu itu adalah sesuatu yang diatur dalam sistem ketatanegaraan kita. Perppu ini konstitusional,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Senin (17/7/17).
Dalam konteks pembubaran Ormas, kata Hendardi meskipun mekanisme bertahap dan berjenjang dihilangkan dari UU 17/2013, sesungguhnya pembubaran dengan mekanisme seperti dalam Perppu tetap merupakan obyek yang bisa dipersoalkan di peradilan tata usaha Negara (PTUN).
“Hanya saja pada UU Ormas, putusan pembubaran dilakukan setelah melalui proses pengadilan. Sementara pada Perppu, putusan pembubaran oleh negara, tetapi kemudian pihak yang dibubarkan bisa melakukan pembelaan diri ke pengadilan,” jelas dia.
Dia mengakui bahwa pembelaan diri ke pengadilan tidak disebutkan secara eksplisit dalam Perppu. Pasalnya mekanisme keberatan ini tunduk pada rezim peradilan TUN.
“Bahkan Perppu ini tetap menjalankan prinsip check and balances dengan membuka ruang bagi judicial review di MK dan pengujian melalui DPR,” ungkap dia.
Lebih lanjut, Hendardi berharap pemerintah menjalankan Perppi Ormas ini secara transparan dan akuntabel sehingga bisa menjawab pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama potensi bahaya yang ditimbulkan terhadap demokrasi dan HAM.
Apalagi, kata dia sebagai produk yang dibentuk atas dasar kegentingan yang memaksa, pemerintah hingga 1 minggu setelah Perppu terbit belum melakukan tindakan apapun terhadap obyek yang dianggap membahayakan bagi sendi-sendi kehidupan bernegara.
“Implementasi Perppu ini harus transparan, akuntabel dan presisi pada obyek yang sungguh-sungguh melakukan pelanggaran dan mengancam ideologi Pancasila. Pemerintah, kepolisian, dan kejaksaan adalah institusi kunci yang harus memastikan Perppu ini tidak dijalankan secara sewenang-wenang,” terang dia.
Pada dimensi HAM, kata dia perlu disampaikan bahwa dewasa ini munculnya radikalisme berbasis agama dan ekstremisme dengan kekerasan serta fenomena failed state di Timur Tengah dan Afrika. Pasalnya, konflik komunal dan kekerasan membuat sejumlah pakar hak asasi mempertanyakan apakah konsep negara dalam perspektif HAM tradisional yang menekankan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi individu masih relevan.
“Perspektif HAM tradisional menekankan kewajiban negara atau state duties untuk pemenuhan hak warga negara,” tandas dia.
Perspektif HAM tradisional, kata Hendardi mengandaikan negara demokratis dan negara bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya secara normal. Menurut dia, tidak pernah atau jarang dipikirkan bagaimana kalau negara mengalami kesulitan dan krisis sehingga tidak mampu dan berkapasitas menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan hak warga negara.
“Karena itu, perspektif HAM harus melihat konteks atau kontekstual, tidak saja memenuhi hak warganegara tapi juga membuat negara tetap bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya,” tuturnya.
Perppu, lanjutnya adalah exercise formula keseimbangan yang mencoba merumuskan margin of appreciation baru hak asasi manusia di tengah situasi radikalisme dan ekstremisme yang terus membesar di Republik Indonesia.
“Sebagai sebuah kebijakan pembatasan, maka kekhawatiran atas abuse of power atas kuasa negara untuk membubarkan ormas dan pemidanaan subyek-subyek hukum yang melanggar, adalah sesuatu yang dapat dipahami. Karena itu, Perppu perlu dijalankan secara transparan dan akuntabel,” demikian Hendardi. (B-SP/BS/jr)