oleh Benni E Matindas**)
Juli 1099, kota Yerusalem berhasil diduduki Pasukan Salib. Orang Kristen membantai puluhan ribu umat Muslim tepat di lokasi Bait Allah yang sejak tiga abad sebelumnya sudah berdiri Masjid al-Aqsa baru (oleh Khalifah Umar dan kemudian dikembangkan oleh Khalifah al-Walid) dan Qubbat al-Shakhrah (Dome of the Rock, dibangun oleh ‘Abd al-Malik). Banyak orang Muslim direbus hidup-hidup. Anak-anak kecil dilemparkan ke dalam kobaran api, seperti membakar tikus yang menjijikkan. Genangan darah memenuhi jalan-jalan di seluruh kota. Potongan-potongan tubuh manusia, tangan, kepala, kaki, tersebar di mana-mana. Semua harta milik kaum Muslim dirampok.
Peristiwa ini amat menyakitkan hati umat Muslim karena berkebalikan diametral dengan ketika dulu Khalifah Umar merebut Yerusalem dari kekuasaan Kekaisaran Kristen Byzantium tahun 638, yang tanpa melalui perang yang berarti [karena kedatangan pasukan Muslim waktu itu disambut dan dibantu oleh jemaat Kristen Suriah dan Yahudi yang lama mengalami penindasan oleh Gereja Romawi]. Waktu itu, Umar melarang tentaranya untuk membunuh warga Kristen yang sudah kalah, mengizinkan penduduk Kristen yang ingin meninggalkan wilayah itu dengan membawa seluruh harta miliknya. Dan ketika waktu sholat tiba, Patriarkh atau Kepala Gereja Orthodox di Yerusalem mempersilakan Umar untuk sembahyang dalam rumah ibadahnya (gereja), Umar justru menolak dan hanya sholat di tangga luar halaman, dengan alasan bahwa kalau ia sholat di dalam gereja maka para pengikutnya akan mengikuti dan dengan demikian gereja itu pasti akan dialihkan fungsinya menjadi masjid.
Begitu pula ketika pasukan Muslim yang dipimpin Shalahuddin bin Ayubbi berhasil merebut kembali Yerusalem dari Pasukan Salib, September 1187, warga Kristen yang sudah ditaklukkan diizinkan tinggal. Sedang yang ingin pergi diizinkan membawa semua hartanya, tak boleh diganggu. Malah muncul adegan yang amat memalukan, para pendeta berebut mencuri inventaris gereja berupa cawan-cawan emas untuk perjamuan dan pelbagai peralatan ritual bersaput emas bertatahkan permata; dan ketika tentara Muslim hendak mencegah pencurian itu, Shalahuddin melarang hanya karena khawatir ada dari kalangan Kristen yang salah tafsir dan mengira tindakan pencegahan itu sebagai pelanggaran terhadap aturan atau izin yang sudah ia buat.
Data-data sejarah tersebut di atas sengaja saya angkat untuk mendekonstruksi persepsi kita orang Kristen mengenai perilaku Kristen sendiri maupun dalam hubungannya dengan umat Islam. Persepsi yang penuh kekeliruan, lantaran lama dimanipulasi.
Prasangka keliru yang sudah sangat lama dibangun di Dunia Barat/Kristen bahwa kaum Muslim adalah haus darah, serba ketidakadilan, dan sebagainya, sudah memenuhi persepsi dan pola pikir kebanyakan kaum non-Muslim. Prasangka serba negatif itu memenuhi persepsi yang sudah menjadi sangat mendasar dan memadat kokoh karena dibangun dalam dendam akibat kekalahan [sejak penaklukan negeri-negeri Kristen oleh Muslim abad VII sampai Perang Salib abad XI-XII], polarisasi politik yang terus dipelihara selama lebih seribu tahun, dilembagakan di dalam sistem teologi dan tradisi keagamaan, sampai pelbagai karya ilmiah (terutama historiografi dan antropologi), sampai karya-karya seni. Persepsi yang dibangun di dunia Barat Kristen itu, dan yang sekarang bertambah dengan budaya Barat secular yang memperlakukan agama maupun iman hanya sebagai obyek olok-olok, itulah pula yang ditelan bulat-bulat oleh kalangan Kristen yang hidup di negara-negara dimana Kristen adalah minoritas dan Islam mayoritas. Orang Kristen berpikir bahwa umat Kristen pasti lebih penuh kasih sayang sesuai ajaran agamanya, dibanding dengan, dan sebaliknyalah, umat Islam.
September 1982, kelompok milisi Kristen Lebanon, atas sponsor dan kawalan militer Israel, selama dua hari dua malam berpesta-pora darah, membantai hampir 800 orang (data sumber lain menyebut sekitar 2000 orang) pengungsi yang tak berdaya, tanpa kecuali nenek-nenek dan kanak-kanak. [Data sejarah ini, sekali lagi, hanya untuk menunjukkan bahwa orang Kristen tidak steril dari sifat dan perilaku haus darah. Orang Kristen bukan pasti pengasih sesama dan pasti penuh keadilan. Di luar soal bahwa kelompok Kristen di Lebanon melakukan tindakan keji itu sebagai bagian dari civil war yang berkecamuk di Lebanon sejak 1975, dimana kelompok militant Kristen Maronite berperang melawan gabungan dari milisi sayap kiri Lebanon, para pejuang Palestina/PLO, sejumlah milisi pan-Arabia dari luar Lebanon, serta puluhan ribu tentara Suriah. Perang saudara yang diperparah oleh kepentingan-kepentingan internasional dalam Perang Dingin.]
Selama beratus-ratus tahun masyarakat Muslim di benua Afrika, India (yang dulu meliputi Pakistan dan Bangladesh), Timur Tengah, sampai Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Mindanao, Pattani dan lain-lain) mengalami ketidakadilan, penganiayaan, bahkan tak jarang pencabutan nyawa di luar proses hukum yang adil, dan tentu saja pelbagai ketidakadilan dalam hubungan ekonomi seperti pemerasan, perbudakan, pencaplokan lahan, dan pengurasan sumber daya alam negerinya, oleh bangsa-bangsa kolonialis Barat Kristen. [Penyebutan label “Kristen” pada bangsa-bangsa Barat penjajah itu bukan sekadar melebih-lebihkan, melainkan karena memang sejak awal proses kolonialisme itu menyatu dengan misi penginjilan, yang terkenal dengan semboyan “G3” Gold-Gospel-Glory, mengeruk kekayaan ekonomi, menyebarkan Injil dan mencapai kejayaan bangsa.] Penindasan antar bangsa berbeda agama — dalam hal ini penindasan pihak Kristen terhadap Islam — terus berlanjut sampai dalam abad kita kini ketika orang Serbia Kristen memanfaatkan perangkat militer negara Yugoslavia untuk membantai kaum Muslim Bosnia, Herzegovina, dan Kosovo.
Persepsi keliru selamanya membuahkan prasangka serba negatif yang selanjutnya dan seterusnya melahirkan ketidakadilan serta kekejaman. Tidak mungkinnya persepsi serta prasangka serba negatif untuk membuahkan keadilan, itulah yang menjadi latar belakang penulisan risalah saya ini, ketika menyaksikan banyak kelompok masyarakat Indonesia dari kalangan Kristen yang ikut berunjuk rasa menuntut keadilan dalam masalah vonis yang dijatuhkan terhadap Ahok.
Karena, (1) Prasangka membuat arah tuntutan jadi tak terfokus, visi perjuangan bisa kabur, sehingga cenderung gagal. (2) Prasangka membuat rumusan jadi melebar ke wilayah-wilayah yang bukan saja tak relevan dan tak produktif melainkan pula wilayah-wilayah yang di luar kendali kita sendiri sehingga malah sangat mudah dimanfaatkan pihak lain untuk dikembangkan di dalam kendali mereka lalu menjadi boomerang bagi kita sendiri. (3) Prasangka akan menimbunkan segala yang sebelumnya disangka ke pokok yang lain, dan selanjutnya-seterusnya pihak penyangka maupun yang disangka akan berjalan dalam garis itu dengan tujuan yang saling berbeda. Misalnya tentang NKRI. (4) Dengan menepiskan prasangka maka kita bisa dengan jernih menyadari bahwa ketidakadilan adalah akibat pasti dari kegagalan manajemen politik negara. Ke situlah arah yang harus dituju, alamat tuntutan penegakan keadilan.
Sejak dulu, di setiap rezim pemerintahan di negara manapun, kegagalan negara mengakibatkan masyarakat menderita tetapi penyelenggara negara bukannya bertanggung jawab malah mengkondisikan sentiment dan prasangka antar-umat agar meletus menjadi konflik terbuka – dengan korban pasti di pihak minoritas — yang dalam siasat politik praktis disebut safety valve (karena prosesnya bekerja persis seperti katup-pengaman dalam mesin mobil: ada sedikit api/panas yang dibiarkan tersalur/dikeluarkan agar api yang besar tetap dapat dikendalikan).
Tuntutan penegakan keadilan harus diarahkan terhadap penyelenggara negara, serta harus murni dan bersih dari prasangka terhadap agama lain.
Prasangka hanya merangsang dan menyuburkan prasangka balik dari pihak lain; dan selanjutnya untuk selamanya bersama-sama menyuburkan ketidakadilan dan kekejaman.
Dan kobaran nyala api prasangka sangat-sangat gampang disulut hanya oleh percikan api sekecil apapun, dan dengan penyebab yang sering sangat sepele atau yang samasekali tak ada kaitannya dengan pokok yang sejatinya diperjuangkan, ataupun alasan yang terlalu mengada-ada. Selalu sangat mudah menyala dan membakar segala-gala, kendati alasannya hanya berupa sangkaan dari dalam prasangka.
Api prasangka! Menyusul bala sampar yang melanda Eropa yang dalam beberapa bulan sudah merenggut nyawa banyak penduduk (terkenal sebagai malapetaka Black Death), awal 1349 umat Kristen di kota Strasbourg, Jerman, dipimpin langsung para imam jemaatnya, menggiring paksa semua umat Yahudi di daerah itu menuju Pekuburan Yahudi di pinggiran kota. Jeritan menyayat hati memenuhi perjalanan maut ini, karena pentungan, cambuk, bahkan tikaman tombak dan parang tak pernah diam. Pakaian mereka direnggut robek sampai hampir telanjang, untuk dijadikan tontonan di jalan raya. Sejumlah wanita muda dikeluarkan dari barisan korban, untuk diperkosa sebentar, tapi tetap dikembalikan lagi karena harus dibunuh tanpa sisa. Sebelum pencabutan nyawa massal dimulai, pendeta dengan mengacungkan salib di tangan menyampaikan doa kutukan. Lalu anak-anak kecil mulai dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar, tubuh-tubuh kecil mereka hanya sebentar saja berkelojotan lemah lalu terdiam, menjadi arang. Perempuan tua dan muda diseret lalu didorong ke dalam kobaran api itu. Kaum lelakinya, sebelum dibakar, dijadikan obyek pelampiasan nafsu menganiaya, obyek kenikmatan menumpahkan darah sesama manusia. Para remaja Kristen dengan riang gembira mengambil kesempatan untuk memperoleh pengalaman membunuh manusia. Semuanya hanya lantaran prasangka, bahwa kehadiran bangsa Yahudi pembunuh Yesus itu telah membawa sial dan kutukan Tuhan sampai terjadi wabah sampar. Pembantaian mengerikan oleh kaum mayoritas Kristen Jerman atas umat Yahudi mencapai puncaknya pada tahun 1940-an, sampai 6 juta orang Yahudi dibunuh, melalui bermacam cara yang sama persis dengan membasmi hama. Program pemusnahan massal dari politik yang secara jitu berhasil memanfaatkan prasangka yang lama berakar dalam sentiment keagamaan dari warga Kristennya.
Api prasangka! Sepanjang lebih 300 tahun dalam abad-abad awal tarikh Masehi, prasangka keagamaan masyarakat Romawi membuahkan keyakinan bahwa orang Kristen adalah pembawa sial dan amarah para dewa, maka berlangsunglah perburuan terhadap orang-orang Kristen. Orang Kristen benar-benar dijadikan binatang buruan, dibantai dimana-mana, dibakar hidup-hidup, banyak yang dijadikan makanan singa. Salahsatu puncaknya ketika kebakaran besar melanda kota Roma, orang Kristen langsung dituduh membakarnya, untuk mengesahkan tindakan masyarakat dan negara melancarkan pembantaian habis-habisan atas orang Kristen.
Api prasangka! Di Gujarat, India, tahun 2002, kereta api yang ditumpangi serombongan penganut Hindu, yang baru kembali dari ziarah keagamaan di luar kota, terbakar. Lima puluhan penumpangnya tewas. Dan prasangka warga mayoritas Hindu langsung dengan yakin menyangka pelaku pembakaran kereta itu tidak lain adalah kelompok Muslim, sehingga pembantaian terhadap umat Islam pun berkobar. 1044 orang tewas, 223 orang hilang, sekitar 3000 luka-luka. Anak-anak kecil dibakar hidup-hidup. Sekitar 250 gadis-gadis dan ibu-ibu diperkosa beramai-ramai, bergantian, setelah itu dibakar hidup-hidup, banyak di antaranya yang dipotong payudaranya, kemaluannya dikoyak dengan parang. Sumber lain menyebut angka korban tewas lebih 2000 orang. Dari kelompok umat Hindu tewas 254 orang, karena selalu ada kesiagaan kaum Muslim di dalam situasi negeri yang sudah memupuk prasangka dan konflik berdarah selama beberapa abad itu. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini prasangka sudah membunuh ratusan ribu umat beragama di India, bagian terbesarnya Muslim.
Api prasangka! Di wilayah Kesultanan Utsmaniyah, dalam masa kekuasaan Abdul Hamid II, tahun 1894-6, sekitar 200.000 orang Kristen Armenia dibunuh [Armenia adalah bangsa pertama di dunia yang menjadikan Kristen sebagai agama negara, puluhan tahun lebih dulu dari Kerajaan Kristen Romawi/Byzantium]. Kemudian, lebih mengerikan lagi, pembantaian yang berawal pada tahun 1915, 1.500.000 (satu setengah juta) orang Kristen dibunuh! Beribu-ribu orang terpaksa pindah agama ke Islam. Sentiment serta prasangka perbedaan agama jelas ada di akar utamanya sehingga bisa sampai sedemikian jauh pelaksanaan program kebencian itu, pelbagai alasan soal politik hanya dibuahkan dan diarahkan oleh sentiment prasangka. Hal tersebut kentara pada fakta bahwa yang jadi sasaran pembantaian tak hanya orang Armenia Kristen melainkan pula warga Kristen Yunani dan Kristen Suriah. Di tengah suasana awal Perang Dunia I (Utsmaniyah mulai masuk perang untuk menghadapi Russia pada akhir 1914), pihak Utsmaniyah menyangka umat Nasrani dalam wilayahnya pasti akan memihak pada Russia yang memang sesama Kristen Orthodox. Permusuhan Russia terhadap Utsmaniyah pun memang berisi sentiment perbedaan agama; ketika tahun 1853 Russia menyerang Utsmaniyah, dan kembali lagi menyerang 1877, pertimbangan utama Tsar Nicholas I ialah untuk menebus kekalahan besar Dunia Kristen pada masa lalu dan merebut kembali apa yang dianggapnya tempat-tempat suci Kristen dari kekuasaan Muslim. Semuanya berakar dari prasangka keagamaan.
Prasangka selamanya hadir laksana jerami kering bermandikan bensin, terlalu gampang disulut oleh api yang sekecil apapun. Sehingga mereka yang melakukan aksi kekerasan terhadap umat beragama lain itu justru tak berpikir lain dari keyakinan bahwa aksinya itu demi menunaikan kehendak agama, atau setidaknya demi mewujudkan rasa tanggung jawabnya bagi jemaatnya yang memang mesti dilindunginya dari segala ancaman termasuk ancaman penyesatan ajaran. Sementara itu, sifat prasangka sangat absurd, terlebih prasangka keagamaan yang bercampur dimensi mitis yang tak kalah absurdnya, sehingga absurditas pun kian bertimbun kusut terpisah jauh dari alasannya yang mungkin, tetapi sebaliknya arah prasangka selamanya sangat jelas, tegas, kaku, dan keras.
Padahal Yesus sangat menolak prasangka perbedaan agama. Itulah mengapa Yesus justru menokohkan atau menjagokan si orang Samaria yang kafir untuk deskripsiNya mengenai hakikat kasih sesama manusia (Lukas 10:25-37). Yesus sebaliknya tidak memilih orang dari agama sendiri, bahkan bukan tokoh agama sendiri; bukan seorang imam dari agama sendiri, juga bukan orang Lewi yang adalah pengurus Bait Allah, melainkan seorang dari Samaria (kaum kafir).
Sedemikian besarnya prasangka keagamaan kaum Yudaisme terhadap kaum Samaria, sampai banyak panafsir Alkitab menambahkan bahwa kalau orang Yehuda yang jadi korban pembegalan/perampokan itu masih cukup kuat tubuhnya maka dialah yang justru akan meludah dan memukul orang Samaria yang datang menolongnya….
Memang sangat tak mudah menghilangkan prasangka negatif terhadap kelompok di luar golongan kita sendiri, sebab ia pertama-tama hadir dalam sentimentalitas keberagamaan yang alamiah dan wajar, dan selanjutnya berkembang di dalam sistem budaya sejak generasi-generasi yang jauh mendahului kita, bahkan terintegrasi menjadi bagian utuh dalam apa yang kita hayati sebagai sistem keagamaan kita.
Memang tak mudah menghilangkan prasangka negatif terhadap kelompok di luar golongan kita sendiri, tetapi dengan cinta kasih yang merupakan inti semua ajaran akhlak agama kita bisa mendekonstruksinya sehingga menjadi keping-keping bahan bangunan baru yang positif bagi diri kita sendiri, bagi sesama kita dan bagi masyarakat/bangsa kita.
*) Disadur dari tulisan khas penulis.
**) Penulis adalah budayawan, sejarahwan, penulis buku, penyair dan pengajar.