BENDERRA, 29/4/17 (Jakarta): Di antara sejumlah kejutan yang dibuatnya, terutama dalam meningkatkan kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, ternyata banyak pula kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti yang dinilai kontroversial, karena justru tidak berpihak kepada kepentingan Nelayan dan Dunia Perikanan Nasional.
“Bukan cuma soal pelarangan penggunaan kapal yang dilengkapi alat tangkap tarik atau ‘cantrang’, tetapi juga sejumlah Peraturan Menteri (Permen) yang berimbas pada keputusan moratorium penangkapan ikan pada ratusan, bahkan ribuan kapal (sebagiannya eks asing, Red) yang telah melalui transaksi resmi jadi milik Nelayan serta Pengusaha Perikanan Domestik, benar-benar telah membunuh mata pencaharian jutaan orang,” tandas beberapa pelaku usaha perikanan serta nelayan tradisional di pesisir utara Tanah Jawa hingga Sulawesi Utara, dalam suatu bincang-bincang khusus di Jakarta, belum lama berselang.
Bincang-bincang khusus ini digelar oleh DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) bertajuk “Diskusi Publik”, di Gedung Joang Angkatan 45, Menteng, Jakarta Pusat, juga menghadirkan sejumlah akademisi, pimpinan daerah, pejabat dari Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, serta Kementerian Dalam Negeri.
“Misalnya saja pemberlakuan Permen 56 dan 57 dan juga ada sebelum itu, yang semestinya sudah berakhir, tetapi hingga kini tidak ada solusi lanjutan, apakah kapal-kapal yang sudah dibeli oleh Nelayan dan Pengusaha Perikanan Indonesia bisa beroperasi atau tidak. Jika ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin akan semakin terpuruk perekonomian kami di Kota Bitung yang memang sebagian PAD-nya berasal dari sektor perikanan dan kelautan,” kata Wakil Walikota Bitung, Maurits Mantiri.
Fakta memang menunjukkan, lebih dari 20.000 pekerja di sektor perikanan dan kelautan di Kota Bitung (Provinsi Sulawesi Utara) dan sekitarnya kehilangan mata pencahariannya sejak pemberlakuan Permen ‘Transhipment’ tentang moratorium penangkapan oleh Menteri Susi.
Beberapa pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang hadir pun mengungkapkan, kontroversi kebijakan Susi Pudjiastuti ini sudah sering disuarakan dengan menggunakan berbagai forum, baik di DPR RI, bahkan ke Wakil Presiden Jusuf Kalla, tetapi selalu mental.
“Kami tidak tahu mau mengadu ke mana lagi,” kata mereka.
Sementara itu, seorang tokoh pejuang dari Jakarta, Husen, 67 tahun, yang berbicara atasnama rekan-rekannya para nelayan tradisional di pesisir Utara Pulau Jawa, memprotes pelarangan cantrang, yang telah menjadi alat mata pencaharian turun temurun mereka.
HNSI diabaikan
Sebelumnya DPP HNSI mengkritik kebijakan Menteri Susi yang dinilai mengabaikan organisasi nelayan tersebut. Itu sempat dinyatakan oleh Mayor Jendral TNI Marinir Pur Yusuf Solichien, selaku Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), beberaoa waktu lalu.
Dia juga menilai kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum memiliki visi dan target yang jelas sebagai realisasi program nawacita Presiden Jokowi.
Karena itu, Yusuf dkk meminta Menteri Susi menetapkan tujuan jangka menengah dan jangka panjang yang jelas seperti era saat Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin Fadel Muhammad.
“Program-program negara (soal kelautan dan perikanan) tidak jelas caranya, tidak bisa seperti itu, harus jelas ke depannya. Misalnya, lima tahun ke depan, seperti zaman pak Fadel targetnya menjadi eksportir ikan dunia,” katanya di kantor DPP HNSI Jalan Juanda No 2 Jakarta, sebagaimana dilansir ‘Merdeka.com’.
HNSI, lanjut Yusuf, mengkritik kebijakan Menteri Susi yang tertuang dalam Permen nomor 56 tahun 2014 tentang penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Disebutnya, tidak semua kapal asing melakukan pelanggaran, sehingga pihaknya meminta pemerintah untuk segera melakukan verifikasi surat izin dan fisik sehingga antara kapal yang legal dan ilegal menjadi jelas.
Dia menambahkan, pihaknya menyayangkan lantaran dalam mengeluarkan kebijakan itu Menteri Susi tidak melibatkan HNSI selaku bagian dari ‘stakeholder’ di bidang perikanan.
Sejumlah anggota HNSI di daerah pun menyatakan, banyak di antara kapal-kapal asing itu telah menjadi milik sah pihak Indonesia setelah melalui proses transaksi yang sah menurut hukum di Tanah Air.
“Investasi sudah kami lakukan, kok tiba-tiba setelah kami memiliki kapal eks asing itu, langsung ditabrak dengan kebijakan moratorium itu? Ini sama sekali tidak manusiawi. Apalagi ditengarai kebijakan itu hanya mendengar masukan sepihak,” timpal beberapa Nelayan.
Dievaluasi Presiden
Secara terpisah, Presiden Joko Widodo alias Jokowi, akhirnya ‘care’ juga dengan kebijakan kontroversi Susi Pudjiastuti, yang telah berimbas pada sangat berkuranganya stok produk untuk memenuhi kebutuhan produksi pabrik-pabrik ikan di Indonesia, terutama di Bitung. (Sebagaimana diketahui, sejak era Presiden Soeharto, Bitung telah ditetapkan sebagai salah satu Sentra Produksi Perikanan Nasional, Red).
Dilaporkan, Presiden Jokowi rupanya sudah banyak mendengar masalah (kontroversi) ini.
Dan Kepala Negara kemudian mengatakan, Pemerintah akan mengevaluasi kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Termasuk perihal pelarangan penggunaan kapal yang dilengkapi alat tangkap tarik atau cantrang yang diprotes nelayan karena dianggap merugikan.
“Saya akan melihat dulu lapangannya seperti apa. Saya akan mengevaluasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Tetapi percayalah kalau kita akan memberikan solusi yang paling baik untuk nelayan, tetapi saya belum bertemu dengan Bu Susi,” kata Presiden Jokowi usai meletakkan batu pertama pembangunan rumah susun sederhana milik untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah di ‘Urban Town Loftvilles’, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (27/4/17) lalu.
Untuk itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini berjanji akan berbicara dahulu dengan Susi Pudjiastuti perihal pelarangan penggunaan cantrang (dan kebijakan kontroversi lainnya, Red) dan akibatnya bagi nelayan kecil (serta usaha perikanan nasional, khususnya di wilayah Indonesia Timur, Red) serta di pinggiran Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa.
“Nanti kalau sudah berbicara dengan menteri, saya akan sampaikan kebijakan untuk ini apa. Nanti saya undang langsung saja Menteri Kelautan dan Perikanan, Bu Susi,” ujar Presiden Jokowi lagi.
Sebagaimana diberitakan, melalui Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 2 Tahun 2015 pemerintah melarang penggunaan alat tangkap pukat heila dan pukat tarik untuk menangkap ikan.
Namun, belakangan aturan yang dikeluarkan sejak tahun 2015 tersebut mendapat tentangan karena dianggap merugikan nelayan kecil yang tidak bisa melaut akibat pelarangan tersebut.
Bahkan, belakangan protes nelayan tersebut didukung oleh Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang mengunjungi para nelayan Pantura di Tegal, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Kemudian, ia menginstruksikan menteri kader PKB dalam kabinet untuk mengangkat nasib nelayan Pantura dalam sidang kabinet, termasuk mengenai larangan penggunaan cantrang. Demikian seperti dilansir ‘Suara Pembaruan’ dan dikompilasi dengan beberapa sumber lainnya. (B-SP/jr)