Ambon-CS, 18/2/17 (BENDERRA/SOLUSSI): “Saya ingin menjadi dokter,” kata seorang siswa kelas IX Sekolah Lentera Harapan, Ambon. Rekan-rekannya tertawa menyoraki anak laki-laki hitam manis ini. Namun, dia hanya tersenyum tipis. Dari sorotan matanya terlihat keseriusan. Jawabannya bukan respons asal-asalan.
“Benar mau jadi dokter?” tanya seorang tamu dari Jakarta pagi itu, Rabu (8/2/17) lalu.
“Ya, Pak. Saya mau menjadi dokter,” jawab siswa itu.
“Sudah tahu, apa bakatmu?” sang tamu bertanya lagi.
“Tidak tahu, Pak. Tetapi, saya mau menjadi dokter,” jawabnya dengan nada mantap.
“Apa pun alasan, yang terpenting, kalian sudah punya cita-cita, punya mimpi,” kata James T Riady, CEO Lippo Group, pendiri Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), yayasan yang mengelola Sekolah Lentera Harapan.
Dengan cita-cita, anak bertumbuh dengan arah yang jelas. Sebaliknya, tanpa cita-cita, seseorang bagai layang-layang putus.
Reaksi paling riuh saat seorang siswa menyatakan bercita-cita menjadi pendeta. Pada saat dunia mengagumi materi sebagai ukuran kesuksesan, masih ada juga anak di ibu kota Provinsi Maluku yang bercita-cita menjadi pendeta.
“Benar, mau menjadi pendeta?” tanya James.
“Ya, Pak,” jawabnya singkat, penuh percaya diri.
Menurut James, maju-mundurnya dunia ini tidak hanya ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor paling utama dalam kemajuan dunia justru iman. Kerusakan dunia dilakukan oleh tangan-tangan yang kurang beriman. Iman yang dimaksudkan adalah kedekatan kita secara pribadi dengan Allah, pencipta semesta alam, dan penyelenggara hidup manusia.
Orang yang beriman selalu terdorong untuk melaksanakan perintah Tuhan. Mereka yang beriman akan tahu diri bahwa Allah itu Mahabesar, sedang manusia hanya debu di hadapan-Nya. Allah itu Mahasuci, sedang manusia adalah makhluk yang berlumuran dosa. Mereka yang beriman menyadari bahwa manusia ada karena Allah. Manusia hidup dan sukses karena Allah. Karena itu, orang beriman akan selalu berpikir, siapa diri mereka, sehingga Allah begitu mengasihinya. Kesadaran ini mendorong orang beriman untuk mencintai Tuhan dengan selalu berusaha menghindarkan dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.
“Pendeta sangat penting, karena tanpa mereka, siapakah yang mengingatkan manusia akan pentingnya iman dan perbuatan yang sesuai iman. Tanpa pendeta, siapa yang mengingatkan manusia, ciptaan Allah tertinggi yang memiliki natur dosa untuk kembali ke jalan yang benar?” tanya James.
Krisis politik, masalah sosial, dan kemerosotan ekonomi yang belakangan ini mendera dunia, demikian James, berpangkal pada krisis iman. Ketika iman ditinggalkan, manusia mengalami kemerosotan moral. Manusia saling mencurigai, saling menipu, saling membenci, saling melecehkan, saling membunuh, dan tak lagi menghormati hak-hak dasar sesama. Aktivitas politik dan ekonomi tanpa moral, intoleransi, berbagai aksi penipuan dan aksi kekerasan, merupakan dampak dari krisis iman.
Krisis iman juga membuat kaum muda mengalami disorientasi. Mereka tidak lagi menerima eksistensi manusia yang hanya terdiri dari pria dan wanita. Cinta dan perkawinan sesama jenis adalah masalah kemanusiaan yang sangat serius. Kehadiran pendeta penting untuk meluruskan berbagai pandangan yang salah dari manusia.
Cinta Allah kepada manusia tak ternilai. Untuk membantu menùsia menggapai kebahagiaan, Tuhan melengkapi manusia dengan 200-300 talenta atau bakat. Setiap manusia mampu melakukan banyak aktivitas karena begitu bervarasinya talenta yang diberikan Tuhan. Tetapi, dari banyaknya talenta itu, hanya ada satu atau dua bakat yang paling menonjol.
“Bakat menonjol itulah yang harus ditemukan dan dikembangkan lewat pendidikan dan latihan,”
Selain pendeta, James memberikan apresiasi tinggi kepada siswa yang berita-cita menjadi guru. Mutu pendidikan tidak ditentukan oleh gedung sekolah yang mentereng dan fasilitas yang serbakomplet, melainkan visi pendidikan dan kualitas para guru. Guru yang baik tidak cukup hanya menguasai bidang ilmu yang menjadi mata pelajaran yang diajarkannya, melainkan juga berintegritas dan memiliki kualitas iman yang teruji.
Guru yang berintegritas terlihat dari kesehariannya dalam bertingkah laku dan menjalankan pekerjaan. Guru yang yang berintegritas bertingkah laku dan bekerja dengan dan penuh tanggung jawab.
“Guru yang kami rekrut harus menjadi suri teladan,” ungkap James.
Menjadi pendeta dan guru, kata James, tidak cukup hanya bakat, tetapi juga panggilan. Para siswa mestinya diberikan suasana yang baik untuk merasakan panggilan dan mengembangkan bakatnya.
“Kalau Tuhan sudah memanggil kita untuk menjadi pendeta, kita tak boleh menolak,” katanya.
Figur Ayah
Kondisi riil anak didik perlu dipahami dengan baik oleh para guru. Posisi anak dalam keluarga, kata James, memengaruhi juga karakternya. Anak lelaki sulung umumnya tidak berkembang maksimal sesuai talentanya. Sekitar 95 persen anak lelaki sulung tidak berkembang maksimal. Hanya 5 persen yang berkembang maksimal dan menjadi sangat hebat. Anak laki-laki pertama umumnya dimanjakan kedua orangtuanya yang masih belajar menjadi orangtua.
“Para guru perlu memberikan perhatian lebih kepada anak lelaki sulung,” pinta James.
Mereka perlu dibantu untuk lebih percaya diri, mengoptimalkan talenta, dan didorong lebih dekat dengan ayahnya. Anak lelaki sulung tak mesti sulung dalam rumah, tetapi lelaki pertama dalam keluarga.
Survei juga menunjukkan, anak laki-laki yang tidak dekat dengan ayahnya tidak berkembang optimal. Figur ayah sangat penting dalam perkembangan psikologi dan wawasan anak laki-laki. Kedekatan dengan ayah membuat anak laki-laki tampil percaya diri. Ayah merupakan mentor yang baik bagi anak untuk memasuki pasar kerja.
“Kelas ini cukup mengejutkan karena hampir semua siswa adalah lelaki sulung di rumahnya,” ujar James.
Survei menunjukkan, anak sulung akan menjadi sangat hebat dan menonjol dalam kehidupan sosial jika dekat dengan ayahnya. Pemilik Lippo Group ini mengimbau para siswa untuk menghormati dan mencintai ayah dan Ibu. Sebagai manusia, mereka pasti memiliki kekurangan. Tetapi, menghormati mereka adalah kewajiban sebagaimana termaktub dalam perintah keeempat dari Sepuluh Perintah Allah.
Dalam percakapan dengan para guru, James mengingatkan prinsip dasar pendidikan dan pandangan yang tepat tentang anak. Pandangan yang salah tentang anak membuat pendidikan salah arah.
“Anak itu milik siapa? Di negara komunis, anak adalah milik negara. Di Indonesia, ada bermacam-macam pandangan. Ada yang mengatakan anak adalah milik orangtua. Ada yang mengatakan anak adalah milik masyarakat,” jelas James.
“Yang benar, anak adalah milik Tuhan,” tegas James.
Pandangan ini membawa konsekuensi luas. Pertama, karena anak adalah milik Tuhan, orangtua dan guru sebagai pendidik wajib menghormati hak asasi anak didik.
Kedua, anak-anak wajib dididik sesuai kehendak Allah, yakni mengembangkan bakat mereka, membimbing mereka menjadi manusia beriman, berintegritas, kreatif, kritis, dan mandiri. Anak didik dibimbing dengan keteladanan agar kelak menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Diminati masyarakat
Terletak di Jalan Dr Siwabessy, Kelurahan Wainitu, Nusaniwe, Ambon, Maluku, Sekolah Lentera Harapan (SLH), kata Zenas Siahaya, kepala sekolah, cukup mendapat tempat di hati masyarakat. Itu terlihat dari jumlah siswa yang terus meningkat. Murid SD saat ini mencapai 337 orang. Sedang murid SMP dan SMA, masing-masing, 209 dan 141. Para murid berasal dari berbagai strata sosial. Ada siswa dari keluarga petani, buruh, pekerja, profesional, pedagang, pengusaha, dan pegawai negeri sipil.
Selain visi yang jelas, SLH memiliki tenaga pendidik terlatih. Di SLH Ambon terdapat 48 guru, di antaranya 45 guru lulusan Universitas Pelita Harapan (UPH). Mereka dididik di Teachers College (TC) UPH, selama empat tahun, tinggal di asrama, dan semuanya dibiayai Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH). Biaya pendidikan per mahasiswa ikatan dinas Rp 240 juta. Para calon mahasiswa TC UPH berasal dari berbagai wilayah Indonesia, kota maupun desa.
Setelah menyelesaikan pendidikan guru, mereka menjalani ikatan dinas selama lima tahun di SLH yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dipersilakan memilih tempat mengajar, di Jawa atau di luar Jawa, di wilayah barat atau timur Indonesia.
“Saya dari Lampung, tetapi memang saya punya cita-cita sejak remaja untuk mengabdi di Indonesia bagian timur,” kata seorang guru wanita di SLH Ambon.
Para guru lulusan TC UPH memiliki keunggulan kompetensi, keterampilan, karakter, dan kemampuan adaptasi dengan masyarakat. Kurikulum di TC membentuk mereka menjadi pribadi yang komplet dengan kemampuan holistik. Di atas itu semua, demikian James, para guru sudah dididik untuk memiliki kemampuan membangun hubungan pribadi yang intens dengan Tuhan.
Itu sebabnya, SLH di Ambon dan berbagai daerah mampu menarik minat orangtua murid dari berbagai strata sosial. Padahal, SLH dirancang untuk membantu masyarakat miskin dan menengah bawah. Dana untuk mengembangkan SLH, antara lain, berasal dari dana corporate sosial responsiblity (CSR) perusahaan-perusahaan Grup Lippo. Biaya pendidikan d SLH diupayakan bisa dijangkau masyarakat tidak mampu.
Hingga akhir 2016, TC UPH sudah menghasilkan 563 guru dan kini tersebar di SLH yang ada di berbagai wilayah Indonesia. Umumnya mereka tetap bekerja di SLH setelah ikatan dinas selesai. Salah satu harapan utama mereka adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2.
Selain SLH, YPPH juga mengembangkan Sekolah Dian Harapan (SDH). Pengajaran di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar menggunakan dwibahasa, Indonesia dan Inggris. Sedangkan di kota-kota besar, YPPH memiliki Sekolah Pelita Harapan, sekolah internasional dengan kurikulum internasional. SDH dan SLH menerapkan kurikulum nasional. Mulai beroperasi tahun 1995 di Lampung, saat ini, SLH sudah hadir di 16 kota di Indonesia, yakni di Nias, Medan, Lampung, Jakarta, Tangerang, Toraja, Palopo, Kupang, Papua, Tomohon, Mamit, Balige, Kurubaga, Sangihe, Labuan Bajo, dan Ambon.
YPPH didirikan almarhum Yohanes Oentoro dan James T Riady. Sejak awal, keduanya bertekad untuk membangun 1.000 SLH bagi masyarakat tidak mampu dengan tujuan membantu masyarakat tidak mampu. Uang sekolah ditetapkan relatif rendah agar terjangkau masyarakat bawah. Mereka yang benar-benar tidak mampu diberikan beasiswa.
Pendidikan adalah eskalator menuju taraf hidup yang lebih baik. Mobilitàs vertikal hanya dimungkinkan oleh pendidikan. Oleh karena itu, lentera perlu dinyalakan untuk membantu masyarakat kurang mampu. Sekolah Lentera Harapan akan terus dikembangkan ke seluruh pelosok Tanah Air untuk membantu menyalakan cita-cita anak bangsa. Demikian seperti terungkap pada tulisan Primus Dorimulu di ‘BeritaSatu.com’ dan diturunkan lagi oleh Tim ‘BENDERRAnews’ serta ‘SOLUSSInews’ untuk ‘Cahayasiang.com’. (Tim)
*) Tulisan ini telah termuat uth pada laman ‘BeritaSatu.com’, Edisi Selasa (14/2/17)