BENDERRAnews.com, 29/3/21 (Maumere): Ada peribahasa: tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Tiongkok. Nah, peribahasa ini tampaknya benar-benar dilakukan Yance Maring.
Bagaimana tidak, pria berusia 30 tahun, seorang pemuda asal Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu sampai harus belajar di Israel tentang ilmu pertanian dan akhirnya menerapkan ilmu yang didapatnya itu di kampung halamannya.
Yance Maring menerapkan sistem ‘irigasi tetes’ namanya.
Sebelumnya, bagaimana Yance bisa belajar di Israel? Hal ini tak terlepas dari keberhasilanya lolos dalam sebuah tes yang diadakan sebuah perusahaan swasta.
Yance merupakan salah satu peserta yang lulus dari NTT. Yance berada di Israel selama sembilan bulan dalam rentan 2018-2019.
Mulai tanam sayur
Salah satu hal yang dipelajarinya di negara tersebut ialah sistem irigasi tetes. Sekembalinya ke Kabupaten Sikka, ia mulai menanam sayuran di lahan kering milik warga di Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok, pada April 2020.
Ya, kembali ke kampung halamannya, Yance menggarap lahan seluas satu hektare dan menanam berbagai sayuran dan buah-buahan.
Meski tanah yang digarap itu kategori kritis, dengan modal pendidikan yang diperoleh di Israel, Yance mengubah lahan itu menjadi produktif.
Ide awal menanam tanaman hortikultura di lahan kering itu, menurutnya, muncul karena dirinya mendapat pendidikan tentang sistem irigasi tetes di Israel.
Irigasi di lahan kering
Sistem irigasi tetes itu digunakan di daerah dengan kondisi kering. Lahan pertanian di daerah kering itu tetap bisa tumbuh dengan baik berkat sistem itu.
“Ketika kembali, saya melihat kondisi NTT kususnya Sikka kurang lebih sama dengan Israel, bahkan di sana masih lebih kritis kondisinya,” tutur Yance seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (18/3/21).
Yance mengatakan, tanah yang saat ini diolahnya itu merupakan lahan kering, sebab curah hujan terbatas. Karena itu, tidak banyak petani yang ingin memproduksi tanaman pertanian kususnya hortikultura. Musim panas pasti keterbatasan air.
“Karena keterbatasan air itu, saya menerapkan sistem irigasi tetes. Menurut saya, sistem ini menjadi solusi yang tepat,” kata Yance.
Mahal beli selang
Sistem irigasi tetes, katanya, cocok di daerah yang minim persedian air karena hemat. Namun, memang membutuhkan biaya yang mahal untuk membeli selangnya.
Dia menjelaskan, sistem irigasi tetes itu menggunakan teknologi short message service (SMS) dan Wifi untuk melakukan penyiraman dan pemupukan tanaman.
Ia membeli alat rakitan seorang alumni ITB Bandung melalui internet, namanya modul SMS. Alat itu menggunakan solenoid valve, keran air otomatis untuk dihubungkan ke timer dan internet.
Jaringan selang irigasi tetes dan pipa dihubungkan ke timer dan Wifi serta ventury injector untuk pencampuran pupuk dan pemupukan.
Cukup via SMS
Dengan menggunakan solenoid valve, keran air otomatis dihubungkan ke timer dan internet. Di alat modul SMS, ia memasang kartu telepon. Ia menerangkan, modul SMS dan Wifi berfungsi mengontrol pengairan dan pemupukan.
Jika menggunakan Wifi, jaraknya hanya bisa diakses 100 meter dari modul. Sementara jika menggunakan SMS itu bisa dilakukan di mana saja.
“Bila hendak menyiram tanaman dan melakukan pemupukan, saya kirim SMS saja ke modulnya, tanaman disiram dan dipupuk secara otomatis,” jelas Yance.
Yance mengungkapkan, penggunaan sistem irigasi tetes, bagian atas bedeng terlihat kering. Namun, di dalamnya benar-benar basah dan pupuk terserap sampai di akar tanaman.
Selain itu, tidak ada erosi di bedeng karena airnya meresap dalam batang tanaman. Rumput juga tidak banyak tumbuh karena air tidak merembes ke mana-mana seperti halnya penyiramamn memakai selang.
Dikendalikan via ‘handphone’
Yance pun terus berinovasi mengembangkan metode baru untuk mendukung sistem irigasi tetes itu. Kini ia mengembangkan metode smart farming drip irrigation system.
Yance menjelaskan, metode baru itu dioperasikan menggunakan jaringan Wifi.
“Metode baru itu bisa mengendalikan sistem pengairan, sensor NPK tanah, sensor PH tanah, sensor suhu, sensor water level, dan sensor flow water,” tuturnya.
Ya, emua dikendalikan aplikasi di handphone android.
“Sistem yang baru ini bisa digunakan kapan dan di mana saja. Lebih efektif dan efisien,” katanya lagi.
Promosi via Medsos
Yance mengaku, awalnya ia mengalami kendala yakni keterbatasan modal. Karena sistem irigasi tetes itu membutuhkan biaya yang besar.
Ia menyebutkan, biaya investasi untuk peralatan irigasi tetes kurang lebih Rp50 juta. Biaya produksi hortikultura sekitar Rp20 juta. Sehingga total modal awal sekitar Rp70 juta.
Untuk mengatasi kendala dana, ia berani meminjam uang di bank dan koperasi. Jumlahnya kurang lebih Rp200 juta.
Untuk mempromosikan hasil pertaniannya, Yance menggunakan media sosial (Medsos) Facebook, WhatsApp, Instagram, dan situs internet.
Omzet Rp350 juta
Saat ini, produk pertaniannya masih dipasarkan di pasar lokal karena volume produksi yang baru satu hektare.
“Puji Tuhan, omzet saat ini dari hasil produksi tanaman hortikultura dan penjualan peralatan irigasi tetes serta jasa instalasi sekitar Rp350 juta,” ungkap Yance.
Baru beberapa pemerintah desa yang menawarkan kerja sama. Ia juga mengaku, hingga saat ini belum ada kontribusi dari pemerintah untuk mendukung penerapan sistem irigasi tetes.
Yance menuturkan, tips untuk bisa menyukseskan usaha adalah, berani, terus belajar, dan berinovasi.
“Jangan pernah malu jadi petani untuk teman teman muda. Karena sejatinya petanilah yang menghidupkan semua orang di dunia ini,” ungkap Yance Maring, lulusan D3 Pertanian Politani Kupang itu, seperti dilansir KompasTV. (B-KTV/jr)