BENDERRAnews, 1/5/19 (Jakarta): Saat ini, Indonesia dinilai menjadi negara di tingkat ASEAN yang memiliki optimisme tinggi terhadap kesiapan implementasi industri 4.0. Hal ini tercermin dari peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0 pada April 2018 dan penerapan digitalisasi industri oleh sejumlah perusahaan manufaktur di dalam negeri.
“Dengan industri 4.0, Indonesia akan keluar sebagai salah satu bangsa juara pada tahun 2030. Bahkan, menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), di saat itu kita bisa menjadi negara nomor tujuh dengan perekonomian terkuat di dunia. Maka yang harus kita dorong adalah optimisme,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menjadi narasumber acara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Entrepreneurship Forum di Jakarta, belum lama berselang.
Airlangga Hartarto juga menyebutkan, berdasarkan hasil riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan optimisme tertinggi dalam menerapkan industri 4.0, yakni sebesar 78 persen. Di atas Indonesia terdapat Vietnam sebesar 79 persen, sedangkan di bawah Indonesia ditempati Thailand sekitar 72 persen, Singapura 53 persen, Filipina 52 persen dan Malaysia 38 persen.
“Survei ini dilakukan kepada supplier teknologi dan manufaktur di ASEAN. Dari jawaban mereka, sebanyak 93 persen mengatakan bahwa industri 4.0 adalah peluang, kemudian tingkat kesadaran untuk menerapkan sebesar 81 persen, dan pertumbuhan dalam optimisme 63 persen,” papar Airlangga Hartarto.
Manufaktur tulang punggung
Riset McKinsey juga menunjukkan, industri 4.0 akan berdampak signifikan pada sektor manufaktur di Indonesia. Misalnya, digitalisasi bakal mendorong pertambahan sebanyak US$150 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada tahun 2025.
Sekitar seperempat dari angka tersebut, atau senilai US$38 miliar, dihasilkan oleh sektor manufaktur. “Industri manufaktur selama ini konsisten menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dilihat dari kontribusi besarnya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai lebih dari 19%,” ungkap Airlangga Hartarto.
Untuk itu, guna mengoptimalkan kinerja industri manufaktur nasional, diperlukan upaya akselerasi penerapan teknologi digital. Adapun teknologi yang menjadi penentu keberhasilan pada adaptasi industri 4.0, antara lain internet of things, big data, cloud computing, artificial intelligence, mobility, virtual and augmented reality, sistem sensor dan otomasi, serta virtual branding.
Model bisnis baru
Airlangga Hartarto menjelaskan, industri 4.0 merupakan sebuah lompatan besar pada sektor manufaktur melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara maksimal.
Tidak hanya dari segi produksi, namun juga keseluruhan rantai nilai untuk mencapai efisiensi yang optimal sehingga melahirkan model bisnis baru yang berbasis digital.
Selain itu, inisiatif indusri 4.0 tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam mendorong perubahan kebijakan sektor manufaktur, tetapi juga mampu mengubah berbagai aspek kehidupan peradaban manusia.
“Oleh karenanya, berbagai negara telah memasukkan industri 4.0 ke dalam agenda nasional mereka untuk dapat meningkatkan daya saingnya dalam kancah global,” terang Airlangga Hartarto, seperti dilansir BeritaSatu.com.
Pioner peberapan digitalisasi
Making Indonesia 4.0 telah memilih lima sektor manufaktur yang akan menjadi pionir penerapan era digitalisasi, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika.
Kelompok manufaktur ini dipilih karena berkontribusi tinggi terhadap ekonomi nasional, dengan sumbangsih hingga 60 persen pada PDB, nilai ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. “Jadi, industri 4.0 bukan di awang-awang. Bahkan, ini bisa meng-create job,” ujar Airlangga Hartarto.
Implementasi industri 4.0 akan membuka peluang kerja hingga 17 juta orang yang melek teknologi digital, dengan komposisi 4,5 juta orang dari sektor manufaktur dan 12,5 juta orang dari industri penunjangnya.
Untuk memenuhi kompetensi SDM tersebut, kata dia, harus melakukan retraining skill untuk pekerjaan baru. “Ini sejalan keinginan Presiden Joko Widodo yang tahun ini difokuskan untuk membangun SDM berkualitas melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan vokasi industri secara masif, dengan konsep dual system di SMK dan politeknik,” tuturnya.
Sejak tahun 2017, Kementerian Perindustrian meluncurkan program pendidikan vokasi yang link and match antara SMK dengan industri. Hingga saat ini, telah menjangkau wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi dengan menggandeng sebanyak 2.074 SMK dan 745 perusahaan yang melibatkan lebih dari 441.800 siswa. (B-BS/jr)