Pascaaoperasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi terkait dugaan tindak pidana korupsi perizinan proyek Meikarta, media cetak dan televisi dari dalam dan luar negeri ramai memberitakan ihwal kelanjutan pembangunan proyek kota mandiri ini. Spekulasi keliru tak seharusnya berkembang karena akan kian meresahkan konsumen Meikarta.
Demikian pula, tindakan instansi pemerintah yang kini mendadak ‘berlombalomba’ mengadakan investigasi pada aspek-aspek yang sesungguhnya tidak ada kaitan dengan operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat Pemkab Bekasi, justru kontradiktif dengan semangat untuk melindungi konsumen Meikarta.
Harus diluruskan bahwa peristiwa pidana terkait OTT KPK terhadap pejabat Pemkab Bekasi itu tidak memiliki kaitan langsung hubungan keperdataan PT Mahkota Semesta Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta dengan para konsumen Meikarta.
Artinya, oleh karena peristiwa pidana tak menggugurkan hubungan keperdataan, maka hubungan antara PT MSU dan konsumen Meikarta tetaplah eksis.
Persoalan Meikarta melingkupi tiga perspektif. Pertama, terkait dugaan tindak pidana korupsi sehubungan dengan OTT KPK terhadap pejabat Pemkab Bekasi. Kedua, terkait perizinan pembangunan proyek Meikarta, dan ketiga, terkait hubungan keperdataan PT MSU dengan konsumen Meikarta. Tiga hal tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
Terkait dugaan tindak pidana korupsi, hal tersebut tidak berkaitan langsung dengan pembangunan Meikarta. Kini banyak pihak berspekulasi akan kelanjutan pembangunan proyek Meikarta pasca- OTT KPK, padahal sesungguhnya hal tersebut tidak berkaitan sama sekali.
Gary Dunant (1988) menjelaskan bahwa dalam ketidakpastian sebuah proyek, baik terkait adanya kasus hukum, persoalan politik maupun kendala pembiayaan, maka pihak yang pertama kali harus dilindungi adalah konsumen. Pendapat tersebut sejalan dengan UU Perlindungan Konsumen (UUPK). Pemerintah kini seharusnya mengubah paradigma.
Tidaklah tepat dengan mendadak ‘berlomba- lomba’ mengadakan investigasi yang justru menimbulkan ketidakpastian bagi keberlanjutan pembangunan proyek maupun pemenuhan hak konsumen. Paradigma yang harus dibangun adalah bagaimana tetap mengawal hak konsumen sehingga hak tersebut dapat terpenuhi sesuai apa yang diperjanjikan PT MSU.
Perlindungan Konsumen
Persoalan Meikarta ini harus dilihat secara proporsional. Artinya bahwa persoalan dugaan tindak pidana korupsi biarlah menjadi penanganan KPK, dan hal tersebut secara keperdataan tidak akan memutuskan hubungan antara konsumen Meikarta dan PT MSU.
Dalam hal ini kewajiban untuk memenuhi hak konsumen Meikarta tetap melekat sebagai kewajiban PT MSU, dan PT MSU pun tetap berkewajiban memenuhi hak-hak konsumen sebagaimana diperjanjikan. Perlu diluruskan juga bahwa peristiwa OTT KPK tidak berpengaruh terhadap perizinan yang telah dimiliki oleh PT MSU.
Sepanjang tidak dicabut oleh pemerintah, maka perizinan yang telah diterbitkan tersebut tetap berlaku. Kasus suap maupun gratifikasi adalah bukan alasan pembatalan perizinan sebagai keputusan tata usaha negara. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 111 K/TUN/2000 dijelaskan bahwa peristiwa pidana yang sepanjang tidak menyebabkan perizinan menjadi cacat prosedur, maka peristiwa pidana tersebut tidaklah membatalkan perizinan yang telah diperoleh suatu entitas.
Pada prinsipnya izin adalah suatu persetujuan dari pemerintah selaku penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan suatu tindakan atau perbuatan tertentu. Hadjon dan Sri Djatmiati (2009) menyebutkan bahwa dalam hal batalnya suatu perizinan harus mendasarkan pada asas hukum contrarius actus, yakni sepanjang tidak dibatalkan oleh pejabat yang menerbitkan maupun pengadilan maka perizinan tersebut tetap berlaku.
Artinya, perizinan bukan menjadi kendala yang dapat menghambat PT MSU untuk memenuhi kewajibannya kepada para konsumen. Mengacu pada konstruksi dan dasar hukum di atas, kini seharusnya pemerintah mendorong pemenuhan hak konsumen.
Sebaliknya, jika pemerintah melalui birokrasi lintas departemen justru fokus pada investigasi kelanjutan proses pembangunan Meikarta, tentu secara keperdataan akan berpengaruh pada hubungan PT MSU dan para konsumen.
Dalam kondisi demikian justru secara keperdataan konsumen akan dirugikan karena investigasi yang reaktif tersebut akan membuat para konsumen menunda pembayaran kewajibannya dan berakibat pada keputusan sejumlah institusi keuangan menunda pembiayaan.
Akibatnya, jika pembangunan tidak terealisasi, PT MSU akan memiliki alasan hukum yang membenarkannya. Dalam ilmu hokum dikenal istilah pembenaran yang disebut exception non adimpleti contractus, yakni pembebasan secara hukum mengingat kedua pihak tidak melakukan kewajibannya.
Dalam situasi demikian tentu akan terbentuk lost-lost situation, yakni persoalan pemerintah makin bertambah, dan di sisi lain beban korporasi (PT MSU) juga semakin berat, serta konsumen juga kehilangan hak-haknya.
Langkah Korektif
Langkah korektif yang sebaiknya dilakukan pemerintah adalah tentu menyerahkan proses dugaan tindak pidana korupsi untuk diusut oleh KPK. Selebihnya, pemerintah harus fokus pada persoalan pemenuhan hak konsumen Meikarta sebagaimana tertera dalam perjanjian, dokumen dan gimmick-gimmick marketing, sehingga hak konsumen tersebut tidak terganggu.
Pada prinsipnya yang harus dilihat oleh pemerintah adalah konsumen Meikarta adalah warga negara yang ingin dengan segera memiliki hunian. Memiliki rumah adalah hak asasi setiap manusia.
Oleh karena itu, di tengah persoalan terbatasnya pasokan permukiman layak huni, pemerintah harus berorientasi pada pemenuhan hak konsumen Meikarta. Saat ini terdapat backlog perumahan yang mencapai 12 juta unit lebih. Pemerintah menargetkan pembangunan satu juta rumah setiap tahun. Para pengembang yang sedang membangun perumahan, termasuk PT MSU, perlu didukung pemerintah.
Tentu tata kelola perusahaan yang baik pada PT MSU menjadi hal yang harus diberi catatan tersendiri. Pemerintah melalui instansi yang terkait dapat mewajibkan PT MSU untuk mengaplikasikan ISO 37001 terkait anti bribery system sehingga kejadian OTT KPK tidak terulang kembali.
Tugas terpenting pemerintah saat ini adalah mendampingi konsumen Meikarta untuk memastikan bahwa proyek Meikarta tetap dibangun sesuai yang diperjanjikan, sehingga konsumen Meikarta akan memperoleh hak-hak yang dijanjikan oleh PT MSU selaku pengembang. Hal ini sekaligus menjawab pemenuhan kewajiban pemerintah sebagaimana diatur dalam UUPK.
Pemerintah sendiri pun harus melakukan evaluasi ke dalam terkait sistem perizinan, mengingat kasus tindak pidana korupsi perizinan ini bukan kasus yang pertama. Investigasi dari instansi-instansi pemerintah yang sebelumnya ‘anteng’ akan menambah kegaduhan dan menjadi cermin buruk bagi potret investasi di Indonesia.
Pemerintah harus menangani persoalan Meikarta ini dengan sensitif, mengingat skala investasi Meikarta cukup besar dan berita terkait Meikarta telah diakses oleh media internasional. Pemerintah harus menghapus citra bahwa pengurusan perizinan investasi di Indonesia masih sulit atau dipersulit, dan pada akhirnya membuat investor terjebak dalam praktik suap.
Pemerintah harus meyakinkan investor dengan jalan segera melakukan tindakan korektif yang membuktikan bahwa perizinan bukan momok bagi dunia investasi. Peringkat kemudahan berusaha mesti terus ditingkatkan sebagai acuan bagi para investor, untuk menentukan preferensi berinvestasi di Indonesia.
Di saat yang bersamaan, pemerintah harus tetap konsisten mendampingi konsumen untuk memperoleh hak-haknya. Ingat, perumahan adalah kebutuhan pokok setiap warga negara. Dalam menjalankan peran, pemerintah tetap harus mengacu pada tujuan kemerdekaan Republik Indonesia, yakni mewujudkan kesejahteraan pada seluruh tumpah darah Indonesia, yang tentu saja harus dicapai dengan cara-cara yang bermartabat. (B-ID/jr)
*) Disadur dari Investor Daily, Edisi Senin (29/10/18), dengan judul asli: “Aku (Masih) Ingin Pindah ke Meikarta”
**) Penulis adalah Dr Rio Christiawan SH, Mhum, Mkn, Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya